Nama: Henda destriani
Nim : 1711143026
Kelas : Hes3b
postingan baru karena ketidak sengajaan terhapus
ANALISIS DARI UU NO 23 TAHUN 2004 PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH
TANGGA
Jika sampai
terjadi Kekerasan fisik seperti cedera berat, tidak mampu menjalankan tugas
sehari-hari, pingsan, luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit
disembuhkan atau yang menimbulkan bahaya mati, kehilangan salah satu panca
indera, mendapat cacat, menderita sakit lumpuh, terganggunya daya pikir selama
4 minggu lebih, gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan, kematian
korban.
Kekerasan Fisik
Ringan, berupa menampar, menjambak, mendorong,
dan perbuatan lainnya yang mengakibatkan cedera ringan, rasa sakit dan luka
fisik yang tidak masuk dalam kategori berat, melakukan repitisi kekerasan fisik
ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan berat.
Kekerasan
psikis, kekerasan Psikis Berat, berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan,
perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi
sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina; penguntitan;
kekerasan dan atau ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis; yang
masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis berat berupa salah satu
atau beberapa hal berikut:
- Gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat atau disfungsi seksual yang salah satu atau kesemuanya berat dan atau menahun.
- Gangguan stres pasca trauma.
- Gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba lumpuh atau buta tanpa indikasi medis)
- Depresi berat atau destruksi diri
- Gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas seperti skizofrenia dan atau bentuk psikotik lainnya
- Bunuh diri
Kekerasan
Psikis Ringan, berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi,
kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan,
dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina;
penguntitan; ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis;yang
masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis ringan, berupa salah
satu atau beberapa hal di bawah ini:
- Ketakutan dan perasaan terteror
- Rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak
- Gangguan tidur atau gangguan makan atau disfungsi seksual
- Gangguan fungsi tubuh ringan (misalnya, sakit kepala, gangguan pencernaan tanpa indikasi medis)
- Fobia atau depresi temporer
Kekerasan
seksual
- Kekerasan seksual berat, berupa:
- Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan.
- Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak menghendaki.
- Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan atau menyakitkan.
- Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau tujuan tertentu.
- Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi.
- Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka,atau cedera.
- Kekerasan Seksual Ringan, berupa pelecehan seksual secara verbal seperti komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan atau secara non verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina korban.
- Melakukan repitisi kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan seksual berat.
Kekerasan
ekonomi
- Kekerasan Ekonomi Berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi dan pengendalian lewat sarana ekonomi berupa:
- Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk pelacuran.
- Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.
- Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas dan atau memanipulasi harta benda korban.
- Kekerasan Ekonomi Ringan, berupa melakukan upaya-upaya sengaja yang menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.
·
Paradigma hukum sebagai alat pelayanan
masyarakat dalam undang-undang no 23
tahun 2004
Pasal 17
Maka dari itu
dalam bab VI adanya perlindungan terhadap si korban. Jika terjadi tindak
kekerasan dalam rumah tangga seprti melanggar dalam kekerasan yang di jelaskan
di atas maka dari itu adanya pasal 17 berbunyi dalam memberikan
perlindungan sementara, kepolisian dapat bekerja sama dengan tenaga
kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani untuk
mendampingi korban. Dalam pasal 17 sudah relevan termasuk dalam paradigma hukum
sebagai alat pelayanan kehidupan masyarakat karena korban KDRT di perlukan
perlindungan kepolisian dapat bekerja dengan tenaga kesehatan seperti memeriksa si korban dalam
ksehatanya, apakah mengalami luka dalam tubuhnya atau tidak kemudian, pekerja
sosial melakukan konseling, memberikan
informasi mengenai korban tersebut untuk perlindungan dan di tempatkan ke
tempat yang aman, relawan pendamping ia mempunyai keahlian untuk melakukan
konse-ling, terapi, dan advokasi guna penguatan dan pemulihan diri korban
kekerasan agar tidak cidera. Serta pembimbing rohani untuk mendampingi korban
KDRT, di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan pengadilan hingga
korban merasa aman didampingi oleh pendamping.
Pasal 19
Dalam pasal 19 berbunyi Kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui
atau menerima laporan tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Pasal 19
ini sudah relevan termasuk dalam paeadigma hukum sebagai alat pelayanan
masayarak karena pasal 19 sudah jelas kepolisian bertindak penyelidikan setelah
mengetahui atau telah menerima laporan terjadiunya kekerasann dalam rumah
tangga.
Pasal 37
1.
Korban,
kepolisian atau relawan pendamping dapat mengajukan laporan
secara tertulis tentang adanya
dugaan pelanggaran terhadap perintah
perlindungan.
2.
Dalam
hal pengadilan mendapatkan laporan tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pelaku
diperintahkan menghadap dalam waktu 3 x 24
(tiga kali dua puluh empat) jam guna
dilakukan pemeriksaan.
3.
Pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh
pengadilan di tempat pelaku pernah
tinggal bersama korban pada waktu
pelanggaran diduga terjadi.
Dalam pasal 37 ayat 1, 2, 3 sudah relevan karena itu termasuk
paradigma hukum sebagai alat pelayanan kehidupan masyarakat
37
ayat 1 sebagaimana konsekuensi ketentuan pasal 26 UU KDRT yang memungkinkan
korban KDRT melaporkan kepada kepolisian setempat dimana korban berada maupun
di tempat kejadian perkara.
Pasal 37 ayat 3 yang menyatakan bahwa pemeriksaan atas PP kaka
apabila ada laporan dugaan pelanggaran terhadap PP tersebut di ajukan di
kepolisian atau pengadilan di luar wilayah pengadilan tempat pelaku pernah
tinggal bersama korban pada waktu
pelanggaran di duga terjadi, maka kepolisian atau pengadilan menerima laporan
tersebut dalam jangka waktu 1 x 24 jam wajib meneruskan ke pengadilan dimana
pelaku pernah tinggal bersama korban pada waktu pelanggaran terjadi,
selanjutnya setelah pengadilan sebagaimasna disebutkan diatas maka pelaku
diperintah menghadap waktu 3 x 24 jam guna dilakukannya pemeriksaan pasal 37
ayat 2 UU KDRT
Pasal 37 ayat 2 UU KDRT apabila pengadilan mengetahui bahwa pelaku
telah melanggar PP dan diduga akan
melakukan pelanggaran lebih lanjut, maka pengadilan dapat mewajibkan pelaku
untuk membuat pertanyaan tertulis yang isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi
perintah perlindungan. Namun jika pelaku tetap tidak mengindahkan surat pernyataan tertulis maka pengadilan
dengan surat penetapan pengadilan dapat memerintahkan kepolisian agar melakukan
penahanan atas pelaku KDRT paling lama 30 hari pasal 38 UU KDRT.
Dari semua pasal yang di sebutkan di atas sesuai dengan paradigma
hukum sebagai alat pelayanan kehidupan masyarakat, maka dari itu jika terjadi KDRT yang merugikan salah satu pihak pemerintah
tidak membiarkan hal tersebut marak
terjadi.maka dari itu adanya undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga setidaknya hukum melayani dan melindungi masyarakat dari kekerasan dalam
rumah tangga dan masyarakat menjadi lebih enggan untuk melakukan kekerasan
dalam rumah tangganya.
·
Paradigm
hukum sebagai alat rekayasa masyarakat dalam uu republic Indonesia nomor 23
tahun 2004 tentang KDRT
.Dalam undang-undang yang saya ketahui pasal 9 merupakan paradigma
hukum sebagai alat rekayasa sosial yang berbunyi di bawah ini:
Pasal 9
1.
Setiap
orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal
menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia
wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
2.
Penelantaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang
mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang
untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di
bawah kendali orang tersebut.
Dalam pasal 9 ayat 1 dan 2 larangan
dalam pelantaran rumah tangga tujuannya
yang ingin di rubah dalam masyarakat itu perilaku masyarakat yang sering
melakukan kekerasan dalam rumah tangga mereka
ingin supaya mayarakat tidak sewenang-wenang dengan anggota keluarga, seperti pernikahan
mereka ingin agar orang yang sudah menikah itu bertanggung jawab dengan
keluargannya sebelum pernikahan itu diadakannya perjanjian perkawinan dimana
untuk memelihara, menafkahi, merawat dan tidak melantarkan anggota keluarga. Dalam
pasal di atas merupakan paradigma
sebagai alat rekayasa sosial alasannya adalah hukum itu di buat dengan tujuan
agar hukum ditaati oleh masyarakat dalam upaya untuk menghindari KDRT pada masa
depan.
·
Ketentuan
yang di anggap kurang relevan dalam undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang
penghapusan KDRT
adapun pasal yang kurang relevan yaitu pasal 12, dan mungkin bisa
di usulkan untuk dirubah yaitu pasal 12 yang berbunyi:
Untuk
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pemerintah :
a.
merumuskan
kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam
rumah tangga;
b.
menyelenggarakan
komunikasi, informasi, dan edukasi tentang
kekerasan dalam rumah tangga;
c.
menyelenggarakan
sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; dan
d.
menyelenggarakan
pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu kekerasan dalam rumah tangga
serta menetapkan standar dan
akreditasi pelayanan yang sensitif gender.
3.
Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri.
4.
Menteri
dapat melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Dalam pasal tersebut pada ayat 1 poin b dan c menurut saya kurang
relevan mungkin bisa di rubah dimana di situ di jelaskan dalam poin b menyelenggarakan komunikasi,
informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga dan poin c menyelenggarakan
sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga sedangkan kalau di
telusuri dalam kalangan masyarakat penyelenggaraan infornasi dan komunikasi
jika ada kasus KDRT mereka menganggap wajar dan biasa dan tidak perlu
melaporkan dan juga masih kurangnya sosialisasi kemasyarakatan dalam KDRT maka
dari itu seharusnya pemerintah menggalakkan di setiap wilayah diadakannya
sosialisasi penghapusa KDRT agar masyarakat lebih paham dan mengetahui dalam
undang-undang penghapusan dalam rumah tangga.
REFERENSI :
REFERENSI :
(Ni’mah,Zulfatun. Sosiologi Hukum sebuah pengantar. Yogyakarta:Teras,2012)
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2004 Tentang Kekerasan dalam rumah tangga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar